Pelembagaan hukum Islam di Indonesia & Malaysia

Penulis

  • Dr. H. Lahaji, M.Ag IAIN Sultan Amai Gorontalo

Abstrak

Secara umum buku ini berusaha membuat pemetaan dan analisa tentang pengaruh politik hukum negara terhadap pelembagaan Peradilan Islam di Indonesia dan Malaysia.

Sebagai simbol politik pelembagaan hukum Islam, institusi Peradilan Agama di Indonesia dan Mahkamah Syari‘ah di Malaysia telah eksis sejak masa-masa awal kedatangan Islam. Dukungan politik raja-raja, ikut menyertai proses kehadirannya. Dalam perkembangannya, baik pada masa-masa kolonial maupun pasca kemerdekaan, institusi itu tetap tampak sangat dipengaruhi oleh politik hukum (legal policy) yang dikembangkan oleh negara dan atau penguasa.

Pemerintah Indonesia dan Malaysia melembagakan hukum Islam karena pelembagaan itu memiliki akar historis yang panjang, landasan yuridis yang kuat, dasar filosofis yang argumentatif. Tetapi jika tidak ada dukungan politis dari negara, maka landasan-landasan tersebut menjadi kurang bermakna. Faktanya, landasan-landasan non-politis itu telah lama menyertai lembaga hukum Islam, tetapi karena dukungan politiknya baru muncul belakangan, maka mudah dimengerti mengapa pelembagaan itu juga terwujud belakangan. Dukungan politik negara itu pun tentu saja juga bukan tanpa alasan, sebab tampak di permukaan bahwa secara politik hal itu menguntungkan negara, baik dari sisi legitimasi kultural maupun struktural. Dalam konteks Indonesia, pengakuan itu diwujudkan melalui UU No.7/1989, sedangkan dalam konteks Malaysia, akomodasi dilakukan dalam Pindaan (amandemen) Akta Perlembagaan 1988. Khusus yang disebutkan terakhir, akomodasi itu memang dimaksudkan untuk mencegah menguatnya dukungan pemilih Muslim terhadap Partai Islam PAS.

Dukungan politik negara itu juga ternyata bukan variabel yang berdiri sendiri. Negara terbukti hanya akomodatif dalam konteks hubungan yang simbiosis-mutualistik. Dalam kasus Indonesia, akomodasi itu dilakukan ketika hubungan ideologis dan politis antara negara dan umat Islam tidak lagi diwarnai ketegangan, kecurigaan dan hubungan-hubungan kontra-antagonistik lainnya. Dalam kasus Malaysia, pengakuan negara dalam Akta Perlembagaan 1948 dengan cara menyerahkan kewenangan Mahkamah Syari‘ah  kepada raja-raja negeri bagian, juga dilakukan dalam konteks mengakomodasi keinginan raja-raja negeri bagian yang pernah menolak rancangan Malayan Union, karena merasa kewenangannya dalam mengatur undang-undang Islam, dikurangi dan atau bahkan dihilangkan.

Unduhan

Diterbitkan

2023-03-28

Artikel paling banyak dibaca berdasarkan penulis yang sama